Hari demi hari kebutuhan energi di negara kita semakin banyak dan hal ini berbanding terbalik dengan produksi energi itu sendiri. Hal yang menjadi pokok masalah kita saat ini adalah tentang semakin minimnya bahan bakar fosil sebagai sumber energi.
Lalu bagaimana kita harus mengatasinya? Banyak teori tentang bagaimana menanggulangi krisis energi terutama energi dari bahan bakar fosil yaitu dengan menggunakan tenaga angin, surya, samudra, biomassa, nuklir, ataupun yang lainnya. Akan tetapi, bagaimana kita melakukannya sementara masih banyak orang Indonesia yang belum menyadari pentingnya hal tersebut untuk masa depan. Saat ini yang kita perlukan adalah individu-individu yang mempunyai inisiatif dan kreatifitas untuk menanggulangi hal itu.
Bagaimanapun ini merupakan tugas kita sebagai generasi muda untuk mewujudkannya karena masa depan ada di tangan kita. Yang perlu kita garisbawahi di sini adalah bahwa krisis energi di negara kita sangat berkaitan erat dengan masalah ekonomi nasional, karena BBM naik, semua bahan pangan ikut naik dan dampaknya adalah pada rakyat menengah ke bawah. Hal ini juga terjadi belahan dunia lainnya.
Masih dalam ingatan kita, bagaimana pemerintah “memaksa” rakyat untuk meninggalkan penggunaan kompor minyak tanah dan beralih ke kompor gas. Mereka yang belum siap menerima konversi ke kompor gas, menggunakan kayu bakar atau arang untuk memenuhi kebutuhan memasak sehari-harinya.
Biomassa
Biomassa (bahan bakar hayati/nabati) merupakan produk fotosintensis, yaitu butir-butir hijau daun yang dihasilkan klorofil yang bekerja sebagai semacam sel-sel surya, menyerap energi matahari dan mengonversi karbon dioksida menjadi suatu senyawa karbon, hidrogen, dan oksigen. Senyawa ini dapat dipandang sebagai suatu penyerapan energi yang dapat dikonversi menjadi suatu produk lain, misalnya arang/karbon, alkohol kayu, dan lain-lain.
CO2 + H20 + E —-> CX(H20)Y + O2
Dimana:
- E = Energi cahaya matahari
- CO2 = Gas karbondioksida
- CX(H20)Y = Hidrokarbon yang terjadi
- H20 = Air
- O2 = Oksigen
Dalam sebuah perhitungan dengan metode Rabinowitch, proses fotosintesis menyimpan/menyisihkan seperdua energi pembakaran yang secara maksimum per atom karbon.
Jenis-jenis biomassa dapat berasal dari limbah seperti limbah kelapa sawit, sekam padi, limbah tebu, dan kayu dan juga dapat berasal dari yang secara khusus ditanam misalnya jarak, sorgum, alga, dll. Bahan bakar cair yang dihasilkan kemudian dicampur dengan minyak dan sering disebut biofuel. Jika dicampur solar disebut biodiesel. Jika dicampur dengan bensin disebut bioetanol.
Kebun Energi
Salah satu pemikiran untuk membuat sebuah desa mandiri energi untuk keperluan rumah tangga adalah dengan membuat kebun energi. Kebun energi yang dimaksud adalah kebun yang ditanami dengan pohon kayu yang khusus diperuntukkan sebagai kayu bakar. Jenis pohon yang dianggap baik dan berkembang pesat adalah kaliandra dan lamtorogung. Selain pesat, batang pohon ini tidak terlampau besar, sehingga mudah dipotong sederhana dan cepat siap pakai.
Setelah kebun mulai tumbuh, keadaan tanah akan berangsur-angsur membaik, karena pohon lamtorogung merupakan pemupuk hijau (groenbemester), sehingga membuat tanah subur. Jikalau tersedia lahan besar, maka desa tersebut dapat mengekspor kelebihan kayu bakarnya ke desa lain. Dan jikalau kayu bakar itu dibuat menjadi arang, maka akan terdapat suatu pertambahan nilai dan hasil ini, bahkan dapat dikirim ke kota-kota besar atau bahkan diekspor.
Kompor Roket sebagai Implementasi Sederhana dari Biomassa
Namun, penggunaan arang secara konvensional juga dipandang masih kurang baik dalam segi efisiensi, efektivitas, dan keramahannya terhadap lingkungan. Jumlah kayu bakar yang digunakan dalam sehari dan besar panas pembakaran yang dihasilkan dinilai boros, karena antara waktu penggunaan kayu bakar dan waktu yang dibutuhkan pohon untuk dapat dijadikan kayu bakar tidak sebanding. Apalagi kalau digunakan dalam jumlah besar dan oleh banyak orang, hal itu akan mengakibatkan terjadinya pengeksploitasian pohon secara besar-besaran.
Kompor roket adalah salah satu teknologi kompor untuk mengoptimalkan kinerja bahan bakar kayu. Kompor ini juga dapat menggunakan bahan bakar rumput kering. Kompor roket yang mulai dikembangkan sejak tahun 1980 ini, didisain layaknya tungku pembakaran, namun yang dimanfaatkan untuk pembakaran adalah gas yang keluar dari kayu bakar tersebut, dan terlihat seperti kompor gas pada umumnya. Dengan kompor roket, jumlah kayu bakarnya setengah dari yang digunakan secara konvensional dapat menghasilkan besar panas pembakaran yang lebih tinggi. Tentunya proses pembakarannya lebih sempurna karena membuang sedikit hidrokarbon ke udara, sehingga lebih ramah lingkungan.
Kompor roket sudah banyak diaplikasikan di negara-negara di Afrika seperti Malawi, Uganda, Tanzania, Zambia, dan Mozambik. Mengingat potensinya di Indonesia yang memiliki sumber daya biomassa yang cukup melimpah dan rakyatnya sudah akrab dengan kayu bakar, implementasi sederhana energi biomassa melalui teknologi kompor roket dapat menjadi langkah awal bagi pemerintah untuk mulai mengurangi penggunaan energi fosil seperti gas yang tidak sustainable dan nantinya kita dapat menjadikan pengolahan energi biomassa lainnya seperti biofuel sebagai salah satu energi alternatif terdepan.
Langkah dan Solusi
Kiranya gambaran di atas dapat menjadikan kita sebagai kaum intelektual untuk serta memecahkan permasalahan di atas. Inisiatif masyarakat bawah harus didorong oleh kaum intelektual untuk bisa memecahkan dan mencari solusi. Dengan transfer pengetahuan, inisiatif dari masyarakat bisa terwujud. Masih terngiang dalam ingatan kita bagaimana perjuangan para kaum intelektual (mahasiswa) dalam melakukan demonstrasi penolakan kenaikan BBM. Namun sangat disayangkan perjuangan seakan-akan berhenti tatkala pemerintah tetap menaikkan harga BBM. Yang dibutuhkan saat ini adalah peran aktif kita sebagai kaum intelektual untuk menjadi bagian dari solusi krisis energi yang mengancam. Tanpa adanya peran aktif dan hanya menunggu kebijakan dari pemerintah (top down policies) maka bangsa ini akan semakin terjerat dalam lingkaran krisis energi.
Peran kaum intelektual dalam mendorong inisiatif masyarakat yang jauh dari perkembangan IPTEK harus dibarengi dengan kebijakan dari atas agar memantapkan langkah bangsa ini dari lingkaran krisis energi. Saat ini dibutuhkan kemandirian energi untuk mendorong kekuatan ekonomi bangsa. Kita tidak bisa mengandalkan sumber-sumber energi fosil (minyak bumi, batubara, dan gas )untuk menjaga ketahanan energi kita. Dalam blue cetak biru energi nasional, cadangan energi fosil khususnya minyak bumi semakin terbatas. Rasio antara cadangan dan produksi hanya 18 tahun. Dalam sumber lain mengatakan bahwa produksi minyak Indonesia saat ini mencapai 900.000 barel per hari, dan 50 persen dikirim ke luar negeri, mengingat 87 persen sektor migas dikuasai oleh asing. Kebutuhan minyak Indonesia sendiri saat inimencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor 950.000 barel per hari (ANTARA News, 15 Desember 2009). Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan pemerintah dalam membuat kebijakan yang merakyat dan mendukung sistem pengembangan energi alternatif untuk mencukupi kebutuhan energi, salah satunya energi biomassa, energi terbarukan yang merakyat.
0 comments:
Post a Comment